Minggu, 15 Februari 2009

cerpen- sesalku

BY : @Y!D

Kerlipan bintang mulai memudar begitu juga sang rembulan mulai tampak menecil dan hendak pergi meninggalkan malam. Makhluk – makhluk malam kembali ke sarangnya, walaupun sang mentari belum terlihat. Sementara si jago terus berteriak membangunkan dunia dan penghuninya tanpa pamrih. Walaupun sebagian besar penghuninya tidak memperdulikan mereka bahkan kembali menarik selimut – selimut mereka untuk menutupi tubuh yang kedinginan.
Kriing…kring..kring… jam bekerku berbunyi, menyadarkanku dari alam indahku. Kuarahkan mataku kepada benda yang mengganggu mimpiku yang indah. Mimpi ? Ya.. Itulah mimpi yang selalu aku alami belakangan ini. Mimpiku menjadi seorang mahasiswi, walau sebenarnya itu belum terwujud namun aku senang dengan mimpiku itu.
Sayup – sayup terdengar suara azan dari mushalla yang tak jauh dari rumahku. Aku pun beranjak dari ranjangku menuju kamar mandi untuk berwudhu, lalu shalat subuh.
Selesai shalat aku membersihkan kamarku, ya maklumlah habis tadi tidak sempat dirapikan. Setelah itu aku pun mencari sebuah benda ajaib milikku, yaitu ha-pe. 1 new message. Oh ternyata ada sms dari sahabatku Natul, aku pun membukanya :
” Assalamu’alaikum sohib.. afwan ana ganggu ukhti. Ana cuma mau ngingatin hari ini pengumuman hasil UAN di sekolah (dayah) kita pukul 4 sore. Jangan lupa tu ya.. Syukran. ( oh iya, kalau ga keberatan ana numpang ya. bolehkan? )
Ohya.? Astaghfirullah. Mengapa aku lupa ya..apa karena aku terlalu berharap untuk jadi mahasiswi. Aku pun membalasnya :
” Wa’alaikum dear.. hu.. dasar bilang aja mau minta tumpangan. Em.. ok dech nanti kita pergi bareng ke dayah. Eh. Syukran banget ya, kalau ga kamu ingatin mungkin aku lupa hari ini pengumuman. Ya udah sampai jumpa ntar sore ya. Ingat ga’ pake lama and nunggu ya. ? awas ! telat, tinggal. ( ohya Na. Jangan lupa bawa ember ya. Siapa tau ntar ada nangis bareng. He..He..).
“ Aduh... kita telat neh. Tuh liat di papan pengumuman dah penuh. Ayo buruan..!” ajakku sambil berusaha menerobos kerumunan santriwati lainnya yang juga meihat pengumuman seperti diri kami.
” Rini..! ana lulus…Alhamdulillah..ni nomornya. Anti gimana ?” tanya Natul.
” Ohya.. syukur dech. Mana nomornya ? eh. Aku juga lulus tuh. Tu nomornya di atas nomor kamu. Alhamdulillah...” jawabku dengan senangnya sambil melompat riang ke atasnya. Tak terasa butiran bening membasahi ujung mata kami berdua.
Hari demi hari terus berjalan, hingga waktu pengumuman SPMB pun tiba. Seperti layaknya calon mahasiswi yang lainnya. Gelisah, was-was, cemas, terus menghantuiku dan aku yakin juga melanda teman – teman seperjuangan denganku di seluruh nusantara. Namun bedanya kali ini aku yang mengingatkan Natul. Ku ambil hand phoneku, lalu
” Assalam.. Natul.! Jangan lupa ya. Nanti malam temanin aku ya di rumah. Kita liat hasil SPMB bareng, ga enak liat ndiri. Ga seru. key !bls GPL ”
Tidak lama kemudian, handphoneku berbunyi.lalu 1 new message.
” Wassalam..oke dech ukhti. Tapi ingat apapun hasilnya kita wajib tawakkal ya sohib. Betewe, ntar kalau kita lulus anti pilih mana. UIN atau dua2nya ? ”
Dasar ni anak, obsesinya menjadi ustadzah ga pernah surut dari hatinya.
” Baik ustadzah...em.pilih mana ya..? bingung juga ne.jalani aja dua2nya.gimana setuju ga?kasih saran dunk...! pintaku
” Pilih dua – duanya. Yakin? Kamu sich enak anak OK, nah ana. Cuma anak PNS biasa. Tapi kalau emang anti pengen jalani dua – duanya ana dukung banget. Kan keren tu punya kawan dah baek, shalehah, pintar, kuliah di dua tempat lagi. Kalau ana sih pikir – pikir & tanya Abi dulu.” Balasnya.
” Yakin dong. Apa sih susahnya. Rini gitu loh. Apa sich yang ga bisa. Ya udah Na tanya aja dulu, mudah – mudahan di kasih. So jangan lupa. Kita tetap saingan.key ! dah dulu ya, aku mau beres – beres dulu.bye.. Assalam..” lalu ku letakkan ha-peku di atas kasur algaku.
Dengan perasaan yang tidak kalah serunya dengan yang aku alami ketika menanti hasil UAN kemarin, jantungku berlomba berdetak bersama urat nadiku. Walaupun aku sudah dinyatakan lulus dan sudah menjadi mahasiswi sebuah Universitas Islam terkenal di daerahku namun aku tetap berharap supaya lulus di universitas impianku dan menjadi seorang mahasiswi kedokteran.
” Duh..mana ya. Kok ga ada ? Ya ni anak, malah santai aja. Hei Na ! gimana kamu ada ga?liatin punyaku donk..!” tanyaku pada Natul.
Sementara Natul yang sedang asyik mencari nomor kami di internet dengan komputerku yang lain, tampak biasa saja. Tidak tampak sedikit pun kegelisahan darinya.
” Habis.. mau gimana lagi. Lulus syukur. Ga lulus juga ga apa – apa. Tenang aja napa sich. Eh liat nih. Buruan ! kayaknya ana kenal dech dengan nomor ni. Eh ni nomor ana. Beneran! Alhamdulillah. Ana lulus.” Jawabnya lalu ia pun sujud syukur di sampingku.
Dengan spontannya aku langsung melompat ke arahnya.
” Na. tu nomor aku. Yes.. hore aku lulus.. Alhamdulillah..” aku pun melompat kegirangan sehingga membuat seisi rumahku menjadi gempar. Aku jadi mahasiswi kedokteran. Lalu aku melompat ke arah Natul dan menarik tangannya lalu ku putar – putar.( seperti di film India gitu. he.he. ).Hingga kami pun terjatuh karena pusing., walaupun sakit namun kami tetap tertawa.
Kini aku sudah resmi menjadi seorang mahasiswi. Bahkan dari dua universitas kenamaan di daerahku. Senang dan bahagia tentu saja aku rasakan, aku juga merasa menjadi manusia teruntung di dunia ini. Sejak kecil aku tidak pernah merasa kekurangan. Hidup di keluarga kaya, uang saku yang tidak pernah putus, otak yang cemerlang, di sayang orang tua, saudara, guru, dan semua masyarakat di daerahku. Tidak pernah ada ada masalah yang ku hadapi selama ini, aku layaknya seorang putri yang hidup di istana kerajaan. Walaupun terkadang aku merasa kesepian karena tidak memiliki saudara kandung, maklumlah aku anak satu – satunya di keluargaku. Sejak hari ini, aku selalu membayangkan untuk hidup jauh dari Ortu, dan juga dayah yang penuh dengan segala peraturannya.
Aku kini tinggal dengan para pembantuku, dari yang mengurusi makan, baju, rumah, dan juga kebun serta seorang supir yang selalu setia mengantarku kemana pun aku pergi. Awalnya aku merasa nyaman seperti itu, siapa sih yang mau hidup susah. Tapi lama – kelamaan aku merasa terasing juga, aku bagaikan burung di sangkar emas. Apapun yang aku lakukan sudah di atur oleh pembantu – pembantuku dan pastinya semua yang mereka lakukan atas perintah mamiku.
Sempat suatu saat aku protes kepada mami ketika beliau menjengukku di sini.
” Mami, Rini udah gede mi. masa sih semuanya harus diatur. Dari makan, baju, dan juga jadwalku semuanya terjadwal. Rinikan bosan mi. Tolong dong ngertiin Rini. Plizz ” protesku.
” Lho..kamu kok protes ? seharusnya kamu bersyukur ada yang bantuin da fasilitas semuanya lengkap. Tidak seperti waktu mami kuliah dulu, semuanya serba sendiri. Tugas kamu hanya belajar, belajar, belajar. Awas jangan sampai mengecewakan mami dan papi ya? Ingat pesan Mami ! ” jawab Mami.
” So pasti dong Mi..rini ingat pesan Mami. Mi.. Rini boleh kost ga? Rini kepingin hidup seperti Natul, Nisa, Nanda, dan juga teman – teman yang lainnya. Gimana mi?” tanyaku.
” Apa ? terus rumah ini mau di apain? Kamu ini gimana sih. Papi sudah beli rumah bagus lengkap dengan fasilitasnya, lah kamunya malah minta tinggal di kost segala. Ga ah. TIDAK BOLEH !” jawab Mami sambil melototiku.
” Tapi Rini bosan sendiri disini, sementara teman – teman rini semua jauh – jauh do kostnya di sana. Atau kalau boleh Natul, Nisa, dan Nanda tinggal disini ya mi. Kan kamar di rumah ini banyak dan besar – besar lagi. Dan Rini bisa lebih mudah untuk belajar kelompok dengan mereka. Mamikan sudah mengenal mereka semua gimana wataknya, mereka itu yang sering Rini ajak ke rumah ketika liburan dayah dulu Mi. Gimana Mi boleh ya..? Ayolah Mi. plizz” pintaku dengan penuh harap.
” Kamu yakin ga bakalan napa – napa entar ? kalau kamu setuju, Mami sich oke – oke aja. Tapi ingat walaupun sudah rame teman nantinya, tugas kamu tetap.. ” belum habis mami bicara aku sudah memotongnya.
” Belajar dan ibadah yakan Mi. Makasih ya. Mami memang super hero di dunia ini.” Pujiku sambil memeluk mami karena senangnya.
Kini kesepianku sudah terobati. Rumah yang selama ini sunyi kini penuh dengan canda tawa dan juga lantunan ayat suci ketika selesai shalat magrib.
” Eh. Sohib – sohib sekalian. Masih ingat ga’ dengan abang – abang yang sering kita liat di mesjid dan juga pustaka kampus kita itu. Ingat ga’ ? Tanya Nisa.
” Abang yang mana ? terus di kampus yang mana nih. UIN atau..? kan rame tuh mahasiswanya. Gimana sich ne anak. ” jawabku sambil terus membuat catatan yang tertinggal.
” Udah – udah. Itu aja rebut. Emang abang yang mana ? Ana dan Rini kuliah di dua tempat ni. coba jelasin yang lengkap dong? ” sambung Natul.
” Hu..dasar. makanya kuliah lagi di dua tempat. Masa kalian ga ingat sich abang yang jadi asisten dosen Bahasa Inggris. Yang ganteng, alim, baik, pokoknya yang sering kita puji – puji itu. Ah masa kalian lupa sich. Coba ingat – ingat dulu. ” jawabnya.
Nanda dan Natul hanya menggeleng – geleng kepala tanda tidak ingat.
” Oh iya. Aku ingat. Abang yang sering negur kita waktu di Mesjidkan. Kamu ingat Na ? Yang berebutan buku dengan kamu waktu di pustaka, terus akhirnya dia bantu kita cariin bahan.!” Sahutku.
” Oo.. abang itu. Yang akhirnya bikin Natul ga bisa tidur malam ya. He.he.” jawab Nanda.
” Ah.. kamu Nda bisa aja. Emang napa dengan abang tu. ?” tanya Natul.
” Dengerin ya.. kemarin waktu aku pulang kuliah aku naik bis mahasiswa. Nah aku duduk disamping abang itu. Kami pun mengobrol lumayan lama. Dia memperkenalkan diri. Namanya Fariz, mahasiswa lulusan S-2 jurusan Bahasa Inggris di Universitas Islam Internasional, Malaysia. Dulunya dia mantan Ketua BEM yang berasal dari LDK. Sekarang dia menjadi dosen dan Pembina LDK kampus kita. Terus dia ngajak kita-kita masuk LDK. Gimana mau ga’? kan asyik tu. Kita bisa kenal banyak dari abang tu. Kali aja entar bisa jadi...” ia pun berhenti.
” Huss..kamu ni gimana sich. Masa masuk LDK karena abang itu. Kita tu masuk LDK harus karena kemauan sendiri.” Bantah Natul.
” Tapi aku setuju Sa ma saran lu. Kali aja entar dia bisa jadi pacar atau jodoh dari kita. Siapa tau. Ya ga’?” sahutku. Akhirna kami pun masuk LDK dengan berbagai alasan masing – masing.
Semester satu, dua, tiga sampai empat kami lewati dengan semangat dan hasil yang memuaskan. Hingga pada suatu hari aku berkenalan dengan seorang mahasiswa jurusan Ekonomi di kampusku,Rio namanya. Hari demi hari aku semakin akrab dengannya sampai akhirnya aku jadian dengannya. Ya..aku pacaran dengannya walaupun teman – temanku tidak mengetahuinya. Namun sepintar apapun membungkus bangkai, baunya tersebar juga. Walaupun akhirnya ketahuan juga tapi teman – temanku hanya diam saja, kecuali Natul. Ia tidak bosan – bosannya menceramahiku.
” Na.. dengerin ya. Kita ini sudah besar. Wajarkan kalau aku kepingin pacaran,, toh apa sih ruginya kamu kalau aku pacaran? Ga adakan ?” protesku.
” Ana Cuma ngingatin aja. Kalau ga mau dengar ya sudah.“ jawabnya pasrah sambil berlalu menuju kamarnya.
” Alah kamu irikan sama aku bilang aja. Walaupun kamu cantiknya tidak kalah denganku. Tapi tidak ada cowok yang naksir kamu, yakan? Ayolah Na…Revolusi diri dong. Jangan menutup diri gitu. Kita ini bukan santri dan siswi lagi, kita ini mahasiswi. Kita ini bebas berekpresi apa aja. ” Jawabku.
Revolusi diri dong. Jangan menutup diri gitu. Ya. Itulah kata yang sering di ucapkan Rio pacarku ketika ia mengajakku untuk bermesraan dengannya. Awalnya aku agak canggung ketika pertama kali Rio mengajakku nge-date, apalagi saat ia pertama kali memegang tanganku. Sampai – sampai aku keluar keringat dingin. Tapi lama – kelamaan, aku menjadi terbiasa ( bahkan untuk hal – hal yang lainnya seperti pelukan dan ” maaf “ ciuman ). Dari sinilah kehidupanku mulai tidak terkontrol, bahkan dapatku katakan mulai hancur.
Aku sudah mulai jarang bahkan hampir tidak pernah lagi untuk belajar dan tadarus bareng teman – temanku di rumah. Bahkan untuk memegang Alquran pun aku malas. Apalagi yang namanya shalat berjamaah, qiyamullail bareng, atau puasa senin – kamis. Rasanya tidak ada waktu untuk itu semua. Untung saja aku masih mau shalat, atau aku lagi datang bulan. Itulah alasan setiap saat ketika mengajakku.
Sikapku terhadap pembantuku pun semakin menjadi – jadi. Caci maki dan sumpah serapah teramat sering ku lontarkan untuk mereka. Sehingga satu persatu dari mereka memilih berhenti bekerja di rumahku, sementara aku tidak pernah memikirkan nasib mereka setelah itu. Bi’ Inah yang selama ini selalu memasak, menyiapkan makanan dan minumanku lebih memilih pulang ke kampung halamannya. Aku tentu saja tidak peduli, akukan bisa beli apa saja makanan yang aku inginkan. Pak Din yang selama ini merawat taman dan juga menjadi supir pribadiku juga memilih untuk meninggalkan rumah.
Alasannya, Ali anaknya sudah kembali ke kampungnya dan membuka usaha di sana. Lagi – lagi aku tidak peduli, kalau mau pergi aku bisa bersama Rio. Masalah tamanku itu mah gampang, aku bisa memanggil tukang taman. Untung saja Atun masih setia di rumahku. Sehingga pakaianku tetap ada yang mencuci dan menggosok. Apalagi ia juga doyan makan, jadi tugasnya sebagai mesin perontok tetap terpakai.Pokoknya, aku tidak peduli sama mereka Toh, mereka yang minta sendiri kok sehingga punya alasan ketika ditanya Mami nanti kalau Mami sudah pulang dari Paris.
Setiap harinya aku hanya asyik dengan pacarku. Kalau tidak bersama Rio, aku ya bersama Ha-peku. Apalagi yang dapat aku kerjakan selain SMS-an. Buku – buku pelajaran hampir tidak pernahku sentuh lagi, paling – paling ya hanya catatan Natul yang setiap hari aku pinjam untuk menyamakan catatan. Begitulah hari – hari yang aku lalui setiap saat, sementara maksiat yang ku lakukan atas nama cinta sudah tak terhitung lagi. Ya begitulah nafsu, ia akan selalu merasa lapar dan tidak pernah kenyang dan tidak pernah tenang, itulah yang selalu ku alami. Ratusan bahkan ribuan ciuman dan pelukanku lewatkan tanpa merasa berdosa sedikit pun.
Aku bagaikan seorang yang sedang asyik mabuk – mabukan, “ Sungguh ketika aku meminum gelas pertama aku merasa menjadi manusia yang baru sehingga aku harus meminum gelas selanjutnya. Bahkan sampai gelas – gelas itu tidak terhitung lagi jumlahnya. Namun semakin banyak aku meneguk minuman itu, rasanya aku semakin membutuhkan untuk yang selanjutnya. Hingga tanpa ku sadari mulutku pun telah berbuih.”. itulah perumpaan yang tepat untuk menggambarkan tentang syahwatku.
Aku pun kini mulai berani mengizinkan Rio untuk masuk ke rumahku tanpa memperdulikan kondisi teman – temanku yang lain. Aku juga sering mengajak Rio untuk masuk ke kamar tidurku. Walaupun tidak berhubungan badan, namun kami sering melakukan hal – hal lain layaknya suami istri ( hanya saja tidak berhubungan badan ).
Ternyata tanpa sepengetahuanku, teman – temanku merasa amat terganggu. Bahkan Nanda dan Nisa pun telah memutuskan diri untuk pindah ke tempat kost yang baru mereka temukan tanpa sepengetahuanku kapan mereka mencarinya. Sementara aku hanya bisa melepaskan mereka begitu saja, walaupun sejujurnya aku sedikit merasa senang. Aku merasa lebih bebas lagi di bandingkan ketika ada teman – temanku di rumah ini.
Hanya Natul yang masih setia menemaniku, walaupun terkadang aku merasa alangkah baiknya jika ia pun pergi dari rumah ini. Jadi tidak ada laagi yang menasehatiku dengan ocehan – ocehannya itu. Tapi aku juga tidak berani mengusirnya, karena dulu aku yang memintanya untuk tinggal di rumah ini. Hingga suatu ketika terjadi pertengkaran hebat antara aku dan dia di sebabkan oleh tingkah laku Rio yang tidak aku ketahui.
Ketika itu Natul sedang mandi di kamar mandi yang berada di kamarnya, tepatnya lagi di samping kamar mandi kamarku. Rio yang menyadari bahwa Natul sedang mandi, meminta izin kepadaku untuk menggunakan kamar mandiku. ” sayang.. aku ke kamar mandi duluya. Aku buang air dulu ga lama kok tenang ja.” katanya. Ternyata apa yang dilakukan Rio di kamar mandiku sama sekali tidak ku duga. Ia mengintip Natul mandi dan parahnya lagi ia pun memotret natul dalam kondisi tanpa pakaian.
Entah syetan apa yang merasuki Rio, pacarku. Ia pun sering melakukan hal ini berkali – kali. Sampai suatu ketika aku tidak dirumah, namun Rio kekasihku ia berada di kamarku. Tadinya sih aku mau membangunkannya, tapi lantaran aku melihatnya tidur pulas aku pun enggan membangunkannya. Rupanya itu hanya taktik Rio agar bisa berduaan dengan Natul. Tanpa pernah terlintas sedikit pun di benakku, Rio pun mencoba untuk memperkosa Natul ketika ia selesai mandi.
Untungnya Natul masih dilindungi oleh Sang Maha Pelindung. Rio pun tertangkap basah olehku di depan mataku ketika ia hendak melakukan perbuatan bejatnya itu, hingga pemerkosaan itu pun tidak sempat terjadi. Walaupun sudah tertangkap basah seperti itu, Rio pun masih berani bersilat lidah untuk memperdayaiku. Bagaikan terkena sihir darinya, aku pun mempercayainya begitu saja bahwa Natullah yang mengajaknya. Ketika itu juga aku mengusir Natul dari rumahku, walaupun ia menangis – menangis mengatakan bahwa itu bukan karena dirinya. Riolah yang ingin memperkosanya. Namun aku tidak memperdulikannya bahkan kebencian pun tumbuh di hatiku dan semakin membara.
Kini tinggal aku dan Atun saja yang menjadi penghuni tetap rumah ini. Sementara teman – temanku sudah tidak berada disini lagi dan aku pun tidak pernah berkomunikasi lagi bersama mereka walaupun mereka sering menghubungiku, namun tidak pernah mendapat balasan dariku. Apalagi yang berasal dari Natul, bagiku ia tidak lebih dari seorang wanita murahan dan munafik yang licik.
Sementara kuliah semakin hancur – hancuran. Aku sudah tidak pernah lagi masuk kelas di UIN, hingga aku pun di keluarkan dari Universitas tersebut. Aku lebih memilih mempertahankan statusku sebagai mahasiswi kedokteran ketimbang mahasiswi tarbiyah, tepatnya lagi tarbiyah bahasa Inggris.
Bahkan statusku sebagai mahasiswi kedokteran pun terancam. Surat demi surat peringatan dari kampus terus ku terima. Namun diriku tidak pernah mempedulikannya. Aku hanya sibuk dengan buaian – buaian indah dan pujian mesra dari Rio. Sementara Rio terus menikmati dan memanfaatkanku tanpa ku sadari. Selain diriku, ia pun terus mengerok uangku. ” Masa sih sama aku kamu pelit. Ayolah.. akukan kekasihmu. ” itulah rayuan yang selalu dilontarkan Rio kepadaku. Bagaikan mantra yang ajaib, aku pun kembali terlena dengan dirinya. Kemaksiatan yang ku lakukan pun semakin menjadi – jadi. Sementara ibadahku sekarang hanya tinggal sejarah, aku lebih senang nonton, minum – minuman keras dan bersenang – senang dengan Rio di diskotik malam.
Sampai suatu malam yang teramat kelam bagiku yang merupakan malam puncak petaka yang menimpa diriku. Ketika itu aku terlalu banyak minum hingga kesadaranku hilang seratus persen. Aku bagaikan mayat namun masih bernafas. Rio yang mengetahui diriku mabuk berat, ia pun memanfaatkanku. Keinginannya yang selama ini tidak pernah ku berikan akhirnya terwujud juga. Ia pun mulai menikmati tubuhku seratus persen tanpa ada yang tersisa untuk di jamahinya. Sementara aku hanya diam dan tertidur pulas tanpa menyadari apapun yang terjadi padaku malam itu.
Akhirnya setalah lewat tengah hari aku pun terbangun setelah tertidur pulas semalaman. Betapa terkejutnya diriku setelah melihat kondisi tubuhku tanpa sehelai benang pun yang menutupi diriku. Tetesan – tetesan darah pun ku dapati di tempat tidurku. Apa yang kau lakukan padaku Rio, akhirnya berhasil juga kau menikmatiku. Betapa kacaunya pikiranku ketika itu. Takut, cemas, gelisah, dan perasaan bersalah pun menghantuiku.
” Bagaimana jika orang tuaku tahu? Bagaimana jika aku hamil ? bagaimana dengan nasibku selanjutnya. Bagaimana jika Rio meninggalkanku ?” itulah perasaan yang terus menhantuiku. Hingga aku pun memutuskan untuk menghubungi Rio. Namun apa yang ku dapati.
“ Tulalit...tulalit..tulalit “ begitulah jawaban yang ku terima. Aku terus saja mencoba hingga berkali – kali namun hasilnya tetap nihil. Sampai aku terima sebuah sms dari nomor yang tidak kukenal. Lalu kubuka isinya.
“ Dear Rini..dah bangunkan? Gimana rasanya semalam. asyikkan ? makasih ya. Aku sangat senang dan puas banget.tapi Rin aku mau bilang sesuatu ne. kayaknya hubungan kita ga bisa di lanjutin lagi dech. Karena aku harus pergi dari kota ini menuju tempat yang jauh benget di seberang sana dan harus meninggalkan semuanya termasuk kamu sayang. Maaf ya..oh iya aku terpaksa mengambil ATM kamu ya tanpa minta izin terlebih dahulu. Alnya tadi kamu tidurnya pulas banget jadi aku ga tega bangunin kamu. Mudah – mudahan suatu saat nanti kita bertemu lagi ya. Da..da.. honey. Muach. Bye..
(Rio.Kekasihmu)”. Oh tidak. Aku pun mencoba menelpon ke nomor yang di gunakannya. Namun nomor tersebut sudah tidak aktif lagi. Bagaikan di sambar halilintar di tengah siang hari. Aku pun menangis sejadi – jadinya hingga aku terjatuh pingsan tidak sadarkan diri.
Ketika sore harinya, aku tersadar dari pingsanku akibat dibangunkan oleh Atun yang mengatakan aku pingsan sejak pagi tadi. Atun pun menyerahkan handphone milik Rio yang katanya ditemukan di bawah ranjangku. Aku pun memeriksa ha-penya yang selama ini tidak pernah sekali pun di pinjamkan kepadaku walau hanya sesaat. Ku buka satu persatu folder yang ada dari handphonenya itu. Ternyata selain diriku, Rio juga memiliki kekasih yang lain di kampung halamannya yang tidak ku ketahui secara pasti dimana. Sementara aku hanya dijadikan pelarian saja olehnya disini.
Tanpa terasa air mataku mengalir tanpa ku bendung lagi. Betapa sakit dan perihnya hatiku ketika ku membaca semua folder Messagenya. Lalu aku pun beralih ke folder – folder lainnya. Betapa terkejutnya diriku saat ku melihat gambar – gambar di dalamnya, sosok – sosok yang tidak asing lagi bagiku bahkan sangat ku kenal setiap jengkalnya. Siapa lagi kalau bukan diriku dan juga temanku Natul serta beberapa orang yang tidak ku kenal dalam kondisi yang sangat tidak pantas di pandang oleh lawan jenis apalagi ia bukan muhrim kita. Aku pun tidak dapat menahan debaran jantungku yang terus berpacu hingga aku pun sesak. Lalu aku kembali jatuh pingsan untuk kedua kalinya.
Sayup – sayup terdengar olehku lantunan kalam Ilahi yang sudah tidak asing lagi bagiku, aku merasa Natul berada di dekatku hingga aku pun berusaha untuk membuka mataku. Dugaanku ternyata benar, Natul, Nisa dan Nanda berada di dekitarku, namun anehnya aku merasa tidak mengetahui sama sekali dimana aku sekarang. Dengan bibir bergetar aku pun berkata
” Di..dimana.. dimana aku sekarang ?” tanyaku dengan terbata – bata.
Mengetahui aku sudah sadar, mereka pun menghentikan bacaan Alqurannya dan sama – sama berucap.
” Alhamdulillah.. anti sudah sadar Rin.! ” Tanya Nanda memastikan kondisiku
” Kamu di rumah sakit Rin. Tapi kamu tenang aja, kami bersama kamu disini.” Jawab Natul.
Aduh.. betapa perihnya bathinku ketika ku dengar Natul mengatakan demikian. Ia yang pernah menyakitiku, masih saja setia menemaniku dan bahkan kesetiaannya laksana cahaya surga yang suci. Pantasnya jika ia bernama Nur Jannatul Fitri, sebagaimana namanya begitulah orangnya. Tanpa ku sadari, butiran – butiran bening mengalir dari kedua sudut mataku. Seperti menyadari bahwa aku sedang menangis, Natul pun panik dan bertaya padaku
” Kamu kenapa Rin ? ada yang bisa ana bantu? Katakan Rin. Apapun yang kamu perlukan katakan saja. Insya Allah kami bantu ” kata Natul sambil mengenakan jas putih bagaikan seragam dokter yang tadi di letakkan di kursinya.
Aku yang menyadari kesalahanku yang teramat besar terhadap mereka terutama Natul yang pernah ku anggap sebagai seorang wanita murahan dan munafik bahkan ku tuduh ingin merebut Rio dariku. Oh.. betapa angkuh dan berdosanya aku.
” Maafkan aku Na..maafkan aku.. maafkan kesalahanku pada kalian semuanya..” aku tak mampu melanjutkan perkataanku hanya itulah pintaku pada mereka yang dapat ku ucapkan.
” kamu ini apa – apaan sich. Jangan pikir yang macam dulu, kamu harus banyak beristirahat ” jawab Nisa.
” iya.. kami sudah memaafkan kamu kok. Tenang aja, sekarang kamu istirahat aja dulu. Besok kita sambung lagi pembicaraan kita. Walau bagaimana pun kamu tetap teman kami dari dulu sampai sekarang bahkan untuk ke depan, Insya Allah.” Sambung Natul.
Begituku mendengarkan jawabab dari teman – temanku, bathinku terasa sedikit tenang. Aku pun berusaha memejamkan mataku pelan – pelan. Nanda pun berkata :
” Berhubung kamu sudah sadar kami pamit dulu ya, terutama Natul. Sudah dari tadi di tungguin suaminya. Akhi Fariz tuh di depan pintu. Oh iya Atun ! nanti jika ada apa – apa hubungi saja saya atau ke dokter Natul ya. Insya Allah kami datang. Oke ! Baiklah kami pamit ya. Assalamualaikum..” lalu mereka meninggalkanku.
Apa ? apakah aku tidak salah dengar. Akhi Fariz suaminya Natul. Maksudku Dr.Natul ? Seakan aku tidak percaya aku akan semuanya. Tapi sudahlah besok saja aku tanyakan kepada mereka, aku pun waktu untuk beristirahat.
Hari – hariku di rumah sakit ku lewati tanpa terasakan olehku. Karena aku selalu ditemani dan dihibur oleh bidadari yang shalehah siapa lagi kalau bukan Natul, Nisa dan Nanda. Mereka pun silih berganti menceritakan kisah mereka yang selalu penuh makna dan hikmah. Dari wisuda bersama – sama dalam jangka waktu kurang dari empat tahun dan berhasil meraih pedikat sebagai mahasiswi muda terbaik dari jurusan masing - masing dan IP di atas 3,5. Apalagi Natul yang berhasil menamatkan kuliah dari fakultas kedokteraan setahun kemudian setelah ia tamat dari UIN. Sebulan kemudian ia pun dilamar oleh seorang pemuda yang pernah ku kenal, yaitu akhi Fariz.
Semakin banyak mereka menceritakan keberhasilan mereka, maka hatiku pun terasa remuk dan hancur serta aku merasa iri dan menyesal yang teramat sangat. Iriku bukan karena salah mereka, tapi karena aku gagal mengikuti jejak mereka. Tak ada satu kalimat pun yang dapat ku ucapkan selain
” Ohya..? Selamat ya.” Hanya itu yang mampu ku ucapkan sambil sekali – kali tersenyum kepada mereka walaupuin teramat berat ku lakukan, karena hatiku menangis. Hanya untuk Natul mampu ku ucapkan
” Selamat ya.. akhirnya kamulah pemenang diantara persaingan kita selama ini semenjak di MIN dulu.”. Ia pun hanya menjawab dengan sebuah senyuman di bibirnya. Setelah seminggu di rumah sakit aku pun di izinkan untuk pulang ke rumah, sambil menunggu hasil pemeriksaan terhadapku.
Setelah tiga hari di rumah, kondisiku pun semakin parah. Ku arahkan diriku di hadapan cermin yang ada di kamarku. Aku pun seakan tidak percaya dengan diriku saat ini jika dibandingkan dengan diriku lima tahun yang lalu. Badanku semakin kurus, dengan wajah yang pucat pasi, dan banyak melamun serta berdiam diri. Bagaikan mayat hidup, itulah diriku yang sekarang. Sementara diriku yang dulu sehat, berparas cantik, dengan kulit putih, rambut lurus, dan energik sampai – sampai menjadi idola tidak hanya di masyarakat bahkan juga di dayahku menuntut ilmu. Namun kini, semuanya berubah 180 derajat.
‘ Tok.. tok..’ Atun mengetok pintu kamarku, lalu ia pun masuk. Lalu ia menyerahkan dua amplop surat yang ia temukan. Satu dari rumah sakit dan satu lagi ia tidak tahu darimana yang katanya di temukan dibawah kasur kamarku ketika ia membersihkan kamarku saat aku di rumah sakit. Perlahan kubuka satu – persatu surat yang di antarkan oleh Atun tadi.
Surat yang aku yakini sudah lama dikirimkan, terlihat dari sampul depannya yang sudah usang Betapa terkejutnya aku, ternyata surat ini berasal dari Universitas dimana aku tercatat sebagai salah seorang mahasiswi kedokteran yang menerima hukuman DO (Drop Out) alias di keluarkan dari kampus tersebut. Aku pun menangis menyesal sejadi – jadinya, sepintas terlintas di ingatanku bagaimana dulu mami berpesan :
” Tugas kamu hanya belajar, belajar, belajar. Awas jangan sampai mengecewakan mami dan papi ya? Ingat pesan Mami ! ”begitulah pesan mami waktu itu.
Aku pun terus menangis dan menangis. Lalu aku pun membuka surat kedua yang ku ketahui dari Rumah Sakit. Ku buka perlahan – lahan. Kubaca dengan seksama dan betapa hancurnya hatiku ketika aku mendapatkan isi surat yang menyatakan bahwa
” Dari hasil pemeriksaan laboratorium menyatakan bahwa pasien bernama Sri Rini Putri ‘ POSITIF ‘ hamil dan terserang virus HIV AIDS.”
Aku pun tidak mampu lagi membendung gejolak tekanan jiwa dan aku menjerit sekuat – kuatnya hingga aku merasa dunia seakan gelap gulita, dadaku pun terasa sesak. Aduh.. apa ini.. apa yang terjadi padaku? Mengapa ia begitu sakit. Aku merasa seluruh tubuhku terpisah – pisah dan aku merasakan kehausan yang teramat sangat. Hingga aku pun terpisah dari jasadku dan aku pun dapat melihat tubuhku terhempas di lantai kamarku dalam keadaan terbujur kaku. Oh tidak.. aku ternyata jiwaku sudah terpisah dari jasadku dalam keadaan su’ul khatimah.
Sayup – sayup terdengar suara tangis dari Mami, Papi dan teman – temanku. Tangisan yang menurutku taidak pantas untuk ditangisi. Ingin rasanya aku berteriak memberitahukan mereka bahwa kepergiaanku tidak layak ditangisi malah seharusnya di syukuri, namun aku tidak berdaya untuk itu. Aku juga melihat sebagian warga sekitar rumahku yang membaca Yasinan di samping jasadku dan sebagian lagi sibuk mengurusi pemakamanku. Akhirnya aku pun meninggalkan dunia yang fana ini.
Seminggu kemudian saat orang tuaku membereskan rumah yang ku tempati tempo dulu bersama teman – temanku yang sengaja di undang oleh mami juga dibantu oleh Atun karena hendak di jual. Saat membereskan kamarku, Atun pun menemukan sepucuk surat dari lemariku lalu menyerahkan kepada Mami dan membacanya di hadapan semua yang ada di rumah itu.
Sebuah surat yang ku tuliskan saat hari – hari terakhirku setelah pulang dari rumah sakit yang isinya :
Ku tuliskan sebuah surat yang mewakili hati serta diriku yang hina dan berlumur dosa.
Teruntuk Mami dan Papi yang ku cintai. Sudilah kiranya memaafkan diriku yang tidak dapat menjaga amanat dan memupuskan harapan keluarga. Yang selalu berpura – pura baik ketika ditanya akan perihal diri dan kuliahku. Padahal aku sama sekali tidak memikirkan akan hal itu. Maafkan aku yang tidak berhasil menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tua. Karena aku disini selalu berbuat maksiat walaupun tanpa mami dan papi ketahui.
Juga kepada teman – temanku terutama Natul sahabatku. Maafkanlah kesalahanku. Maafkan aku yang tidak pernah mendengar nasihatmu selama ini malah aku menuduhmu dan membencimu. Padahal kau tidak pantas di benci dan disalahi karena laksana bidadari dalam kehidupan ini. Benarlah tentang janji Allah yang selalu kau sebutkan kala itu bahwa :
Perempuan – perempuan yang keji untuk laki – laki yang keji, dan laki – laki yang keji untuk perempuan yang keji pula, sedangkan perempuan – perempuan yang baik untuk laki – laki yang baik, dan laki – laki yang baik untuk perempuan – perempuan yang baik pula......( Annur : 26 ).
Aku pun kini percaya dengan ucapanmu itu. Seperti diriku yang mendapatkan Rio, juga seperti dirimu yang mendapatkan akhi Fariz. Namun sayang, semuanya sudah terlanjur dan telat. Sungguh rasanya tiada berguna lagi kata – kata seandainya, jika, karena semuanya sudah berakhir dan tamat sudah bagiku.

Teruntuk juga sahabat – sahabatku yang membaca dan mengetahui kisahku.
Wahai sahabat..( walaupu ku yakini engkau pun enggan menjadi sahabatku setelah mengetahui kisahku ).
Sungguh kau telah mengetahui kisahku, maka ambillah pelajaran darinya sebelum terlambat. Sebelum tawamu menjadi tangis yang tersedu - sedu. Sebelum kebahagiaanmu menjadi duka yang tiada pernah berujung. Selagi kau masih memiliki waktu untuk merubah diri menjadi lebih baik. Juga selagi kau masih memiliki hati dan pikiran yang sehat untuk berintropeksi diri. Tiadalah guna kau berusaha merubah kembali menjadi nasi jika ia telah menjadi bubur. Ingatlah pesanku. Jagalah dirimu. Ingatlah Allah dan Orang – orang yang kau sayangi dimanapun kau berada. Jangan pernah mengecewakan mereka.

Hanya ini pesan terakhir dari diriku yang berlumur noda dan dosa ini.

Tertanda

Sri Rini Putri

Lalu mami pun melipat suratku sambil mengusap tetesan air di matanya. Mentari pun kembali tersenyum dan menyinari lorong – lorong hati yang gelap.

---((( sekian )))---

Banda Aceh, 4 November 2007
Farid Rizki FR –(( @y!d ))--
Mohon maaf jika terdapat kesamaan nama, karakter, dan pengalaman hidup.
Karena cerita ini hanyalah fiktif belaka dan hanya hasil imajinasi penulis semata.
Terima kasih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar